Kenapa Ajaran Agama Saat Ini Menjadi Bahan Olokan?
(Anyway, saya bingung mau kasih judul
apa sebenarnya postingan random ini. Apakah judul di
atas terkesan terlaku provokatif dan memicu kemarahan? Jika iya, saya mohon
maaf)
Jadi, saya menulis ini karena lagi
hangat-hangatnya sehabis baca buku Sejarah Tuhan-nya Karen Armstrong. Biasalah,
kalo yang kenal saya pasti tahu kalo saya ini euforia heboh di depan – lalu labil
di belakang. Hehe. Jadi habis baca buku itu mendadak saya “tercerahkan” dan
dengan sangat bersemangat menggebu-gebu mencoba menuangkannya di blog. Sebelum “napsu”
ilang, mood pudar.. dan pemikiran cupet ini saya lupakan.
Sekilas info, buku Sejarah Tuhan ini
adalah buku terberat yang saya baca. Isinya mencoba mempelajari Tuhan pada
berbagai era – dengan fokus utama pada Tuhan Wahyu agama Samawi – yaitu Yahudi,
Kristen dan Islam. Nah, alasan pertama kesulitan untuk memahami buku ini karena saya
dibesarkan dengan agama Islam, sehingga membaca bagian – bagian mengenai Yahudi
dan Kristen (terutama Yahudi) saya dibikin bingung, karena memang ajaran dan
sejarah kedua agama tersebut tidak pernah saya pelajari sebelumnya. Alasan
kedua, karena kata-katanya sulit bok! Epifani, emanasi, aksioma, inkarnasi, esoterik,
duh kamus mana kamus. Buku ini saya beli waktu SMA sebenarnya, tapi dasar
keminter waktu SMA baca halaman pertama udah pusying kepala. Dan... baru 10
tahun kemudian saya coba baca, dan sebulanan baca nggak selesai-selesai. Pas
nulis saya ini aja saya sebenernya belum baca sampai akhir (baru sampai bab
Tuhan Kaum Reformis), tapi karena udah terlampau bersemangat untuk menuangkan
pikiran di blog jadi ya sudah lah ditulis dulu....
Sebenarnya, ilmu pengetahuan yang
saya dapat dari buku ini BANYAK dan LUAR BIASA. Ini mencakup sedikit
pengetahuan yang bisa saya cerna, karena banyak bagian yang terpaksa saya
lewatin karena gag paham (bikin saya mikir apa yang paham 100% isi buku ini
palingan cuma si Armstrong sendiri!). Cuma, di tulisan kali ini saya kepengen
fokus ke satu bagian dulu aja, yaitu... kenapa saat ini agama (Kristen &
Islam) di dunia umumnya, dan Islam di Indonesia khususnya, mendapat olok-olok
dari para fanatik sekuler, skeptis, liberal, agnostik dan atheis? *Saya fokus ke Kristen dan Islam karena dogmanya hampir mirip, dan baru dua agama itu yang agak saya pahami.
Berawal dari Intoleransi...
Intoleransi menjadi salah satu isu
krusial di tanah air, terutama oleh radikalisme kaum Islam konservatif. Radikalisme
ini dibuktikan dengan BBC Indonesia kemarin yang mengupas berita adanya
peningkatan kecenderungan masyarakat Indonesia paska-reformasi 1988 menjadi
lebih radikal dan tidak toleran (http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/02/160218_indonesia_radikalisme_anak_muda). Ada juga hasil rilisan survey LSI yang menunjukkan kecenderungan naiknya intoleransi terhadap orang lain yang berbeda identitas (http://www.voaindonesia.com/content/survei-intoleransi-meningkat-di-indonesia/1530777.html). Contohnya adalah terorisme peledakan bom,
berita mengenai perusakan tempat ibadah agama minoritas, serta wacana pilgub
DKI Jakarta yang berbau SARA. Kasus teranyar yang gag kalah
seru, tentu saja perkara LGBT yang dimurkai sebagian besar orang Indonesia.
Nah, intoleransi ini kemudian
menimbulkan sikap di kalangan elite dan intelektual yang membodoh-bodohi kaum
fanatik yang intoleran itu. Saya, termasuk yang membodoh-bodohkan kaum fanatik
itu: menyebut mereka tidak open-minded, tidak pintar, kurang piknik, dll.
Padahal barangkali persoalan kenapa radikalisme bisa mengakar ke kaum fanatik
itu lebih karena persoalan ekonomi (ralat kemudian: psikologi dan sosial) dibandingkan persoalan ke-Tuhanan. Kaum
fanatik agamis ini memunculkan kaum lain: kaum skeptis, liberal, sekuler,
agnostik dan atheis di Indonesia, sebagai oposisi dari fanatik agamis (atau
mungkin yang muncul dulu kaum liberal dkk lantas konservatif yang beringas
muncul? tauk deh mana duluan. Ini kayak duluan ayam atau telur). Persoalan dua
kubu yang beradu paham ini memang selalu muncul di kehidupan, dan memang
menjadi proses alami perkembangan pemikiran manusia. Jadi dianggap hal yang
wajar aja, asal gag sampai berantem fisik.
Saya, walaupun tidak secara vulgar, termasuk
kaum sok pintar yang menertawakan kepercayaan kaum fanatik agamis / Islam
konservatif. Sampai akhirnya saya tergelitik dengan seseorang yang saya follow
di facebook karena kepandaiannya yang berbasis sains. Orang ini pintar, tapi
membaca status-statusnya seperti bapak-bapak nyinyiers nan arogan yang kepedean
dan menertawakan ketidaktahuan orang lain. Belum lagi ketika follower-nya
memberikan komentar senada: sinis, sarkastik dan keminter. Persis saya. Namun
kemudian saya – yang selalu membela yang lemah – jadi kasihan juga sama kaum
fanatik konservatif yang dijadikan bahan tertawaan. Teringat tulisan Arman
Dhani yang mengatakan bahwa pengetahuan adalah barang mewah, saya pun merasa
bahwa bully-an itu adalah hal yang terbilang sombong. Saya percaya sebagian besar fanatisme sempit itu karena kurang wawasan atau himpitan masalah pribadi yang kemudian diekspresikan dengan membenci society. Fanatik terhadap ketidakfanatikan
(saya terinspirasi tulisan di mojok.co tentang Donald Trumph yang tiba-tiba
jadi kandidat kuat calon presiden US) adalah suatu bentuk fanatik juga. Intoleran terhadap
intoleransi tetap saja intoleran.
Nah, jadi ngelantur kan.
Kenapa Ajaran Agama Saat Ini Menjadi Bahan Olokan?
Jadi kenapa agama Kristen
& Islam di dunia umumnya, dan Islam di Indonesia khususnya, mendapat
olok-olok dari para fanatik sekuler, liberal, skeptis, agnostik dan atheis?
Alasan pertama, adalah kemajuan sains
dan teknologi. (Yuk boleh baca tulisan saya sebelumnya soal kenapa sains dan
agama tidak bisa bersatu di sini). Kemajuan sains dan teknologi yang dimulai
dari revolusi agraria di Eropa berjalan begitu luar biasa selama beberapa abad
ini, dimotori oleh Barat. Adanya sains ini perlahan mereduksi peran Tuhan
(pernah dengar istilah God of Gaps? Kapan-kapan saya bikin tulisan ini ah), dan
menjabarkan misteri-misteri alam dengan bahasa sains yang obyektif dan masuk
akal. Ilmuwan barat rata-rata atheis semua, memuja otak brilian mereka sendiri, mencintai sains, dan
mabuk pembuktian. Seorang atheis tampaknya menyukai pembuktian, walaupun ada
paradoks yang menarik bahwa atheis tidak bisa membuktikan bahwa Tuhan itu Tidak
Ada, karena membuktikan Ke-tiada-an adalah hal yang mustahil (saya masih
ragu sih benar begini atau tidak, tapi ini yang saya tangkap dari salah satu
artikel yang pernah saya baca tentang argumentasi atheisme).
Lalu apa alasan kedua? Membaca
Sejarah Tuhan saya jadi paham bahwa hal ini disebabkan agama itu sendiri. Lebih
tepatnya, para ulama (atau ustadz) dan para teolog yang mengembangkan ajaran
agama.
Menurut sejarah, ketika Islam mencapai masa keemasan di (kira-kira abad
ke-8 hingga 14), Islam yang berkembang adalah Islam yang filosofis dan mistis. Salah
satu contoh filosof Islam adalah Ibnu Sina, Al-Ghazali, Al-Farabi dan filosof mistik
adalah Jalaludin Rumi (atau Syeh Siti Jenar ya kalo di Nusantara). Tuhan
menurut faylasuf (falsafah Islam) mendapat pengaruh filsuf Yunani seperti
Aristoteles, menggambarkan Tuhan sebagai konsep abstrak yang sulit dipahami.
Tuhan adalah “Wujud Tertinggi”, Tuhan adalah “Kesederhanaan”, Tuhan adalah “Realitas
Tertinggi”, Tuhan adalah “Penggerak Pertama”. Mereka mencoba menggambarkan
Tuhan berdasarkan pendekatan rasional, dan menganggap akal adalah cahaya ilah
yang harus digunakan. Penggambaran Tuhan filosofis ini berusaha obyektif, namun
justru menyebabkannya terasa jauh, tidak terjangkau sekaligus apatis, apalagi definisi
kebenaran manapun mengenai Tuhan pada akhirnya tidak bisa dibuktikan secara
empiris. Sedangkan secara mistis, Tuhan dimaknai secara subyektif, lebih
mengandalkan imajinasi. Mendekatkan diri hingga menyatukan diri kepada Tuhan
dilakukan melalui serangkaian latihan mental, batin dan spiritual yang berat.
Tuhan adalah avatar diri manusia masing-masing. Walaupun pendekatan Tuhan seperti ini
bisa menyebabkan kesalahpahaman orang awam (demikian juga secara filosofis yang
kental nuansa elitisme nya), namun Tuhan secara mistik ini membuat kita jadi
toleran, karena kita percaya bahwa perjalanan spiritual orang berbeda-beda, dan
boleh jadi semua agama dan kepercayaan adalah benar – karena bagaimana Tuhan
memanifestikan “cahaya”-Nya ke masing-masing orang berbeda. Tuhan mistik ini
membuat kita merasa dekat dengan Tuhan, atau hingga ke tahap “menyatu” dengan
Tuhan. Sebuah konsep serupa dengan Manunggaling Kawula Gusti-nya Syeh Siti Jenar yang kemudian
disalahpahami oleh banyak orang.
Nah, pengonsepan Tuhan baik secara
filosofis maupun mistik ini tentu menyulitkan kaum awam. Terlalu abstrak dan
terlalu berat. Saya tidak tahu bagaimana persisnya dan apa sebabnya - mungkin karena politik juga, namun
tampaknya sejalan dengan reformasi di Eropa – dimana muncul perpecahan Katholik
dan Protestan, agama wahyu (Kristen & Islam) mengalami “penurunan” (Karen Armstrong
sendiri berupaya tidak menyebutnya penurunan, mungkin dia berusaha obyektif).
Ketika filosof dan mistikus mengembangkan Tuhan secara inovatif, generasi
setelahnya (Islam dan Kristen) justru kembali ke tradisi lama. Kembali kepada Tuhan yang antropomorfis
(Tuhan tidak lagi Realitas Yang Tidak Bisa Didefinisikan, namun menjadi Raja/Dewa
Tunggal dengan sifat-sifat menyerupai manusia). Tuhan mengalami penyederhanaan,
mengakibatkan agama menjadi sekedar seperangkat aturan dan syariat yang harus
dipatuhi para pemeluknya. Orang lebih diajari untuk beragama dibanding
ber-Tuhan. Di sinilah kayaknya timbul dogma surga-neraka yang begitu kental dan Tuhan yang Pemarah (Azab Allah sangat pedih!). Jika filsuf dan mistikus
mencoba memaknai Tuhan dan ajaran-Nya melalui metafora dan simbolisme, maka
generasi konservatif ini memaknainya secara harfiah. Nah, di sinilah menurut saya letak kesalahan berikutnya.
![]() |
Gambaran neraka yang horror membuktikan bahwa manusia dikontrol melalui rasa takut. |
Mengonsepkan Tuhan dan
sifat-sifat-Nya, harus menggunakan simbol, metafora, imajinasi karena Tuhan
HARUSLAH sesuatu yang di luar bayangan kita. Tuhan tidak boleh terbelenggu
dengan pengetahuan dan bahasa manusia. Sama seperti seniman mengekspresikan
perasaannya, tidak melalui makna literal -
namun melalui seni: puisi, lukisan, tarian, musik. Penggambaran Tuhan dan
sifat-Nya melalui simbolisme dan metafora ini menyebabkan ayat suci menjadi
multitafsir. Yang bahaya, adalah ketika kemudian orang awam memaknainya secara
mentah. Dalam Islam contohnya, ganjaran surga menurut Quran adalah kolam susu,
sungai madu, dan bidadari. Literally. Alih-alih menafsirkan ayat-ayat Quran tentang surga sebagai “tempat
yang luar biasa indah”, banyak orang membayangkan surga BENAR-BENAR seperti itu.
Kepuasan nafsu makan dan nafsu seksual. *Surga setiap orang harusnya berbeda-beda kan? Karena saya tidak peduli dengan kolam susu dan sungai madu. Saya sendiri lebih suka
membayangkan surga tempat berkumpulnya saya dengan keluarga saya, terlebih lagi
kerinduan saya akan almarhum kakak laki-laki saya ingin sekali diwujudkan
dengan bertemu lagi di surga (dan di sana kita berantem rebutan makanan lagi,
sambil nonton film. Itu surga!).
Pemaknaan harfiah ini kemudian
menguat membuat pelajaran agama fokus mempelajari kisah-kisah nabi dengan
mukjizat-Nya (yang kalo dinalar sekarang sulit diterima akal sehat),
syariat-syariat, adab-adab, sunah-sunah nabi, aturan halal dan haram – pokoknya
menjadi rangkaian dogma - yang sejujurnya memberatkan dan gag penting. Kalo
boleh saya jahat sedikit, aturan celana cingkrang, berjenggot, jilbab harus
syar’i, sunah makan pakai tangan, dan hal-hal semacam itu nggak ada faedahnya.
Mungkin itu menjadi ritual penting bagi iman seseorang, namun tidak semua
membutuhkan itu menjadi ritual keimanan seseorang – karena saya sendiri percaya
bahwa jalan spiritual orang berbeda-beda. Saya menghormati mereka yang percaya
hal-hal seperti itu, namun tidak usah menyindir hingga memaksa mereka yang
tidak melewati jalan yang sama.
Nah, fokus agama pada hal-hal kecil
yang tidak signifikan, serta kepercayaan-kepercayaan kuno tentang mukjizat Nabi
(cerita nabi Nuh, Adam sebagai manusia pertama di bumi) – jelas menjadi umpan
gurih bagi kaum sekuler, liberal, agnostik dan atheis untuk membabi buta
menyerang kepercayaan itu. Terutama atheis dan agnostik yang terinspirasi dari
jaman yang serba maju saat ini, mengandalkan rasionalitas untuk menyanggah
ajaran agama yang....... sangat kuno dan memang gag masuk akal! Jadi, jangan
salahkan kaum “rasional” ini untuk menyalahkan ajaran agama yang kuno dan tidak
praktis ini. Ditambah gag toleran sisan! Gimana gag jadi bulan-bulanan.
Jadi bisa disimpulkan, bahwa agama
menjadi olok-olokan sebagian orang, karena
ajarannya yang old school banget, dan buat saya pribadi menjadi “kisah
horor” karena dogma adanya murka Allah dan neraka. Dogma ini mungkin menjadi
salah satu jalan yang bisa mewadahi sebagian orang, namun tentu ajaran ini tidak
sempurna, tidak universal dan tidak menenangkan - karena citra Tuhan yang Pencemburu dan Pemarah. Bagi sebagian orang lainnya –
ajaran kolot itu sudah tidak relevan. Saya sendiri tidak tahu ke-Tuhanan dan
religiusme saya seperti apa, sejujurnya masih mencari jati diri, tapi memaknai
Tuhan secara filosofis dan mistik membangkitkan gairah tersendiri (seenggaknya
saat ini) – yang tidak pernah saya dapatkan saat mempelajari agama secara konservatif.
Kecuali, mungkin pas ESQ... tapi itu juga karena ditakut-takutin ditinggal mati
orang tua. Lalu solusinya gimana? jika agama memang masih ingin menancapkan egonya,
maka ajaran agama harus berubah. Harus sesuai sains dan teknologi, fokus pada
hal-hal berbau kemanusiaan, lingkungan, dan spiritualisme ke-Tuhanan itu
sendiri. Biar relevan. Biar bermanfaat. Dan ga jadi bahan ketawaan......
Demikian.
*Ngomong-ngomong, dunia filsafat, spiritual, agama dkk masih sangat baru buat saya. Mungkin tulisan di atas sangat awam. Jadi, saya senang kalo dikomentari :)
: dayum gal, i like dis words... kebetulan aku sendiri juga seorang struggler yang berusaha mendalami sisi mistisisme dalam islam, mempelajari sufi, soalnya aku merasa lebih sreg daripada hanya tau syariat ini itu, fiqih ini itu, beberapa buku yang aku pelajari mulai dari syahadat cinta gus candra malik, hingga spiritual journey cak nun, aku sendiri juga followers mbah jancuk sujiwo tejo, beberapa kyai langitan NU juga jadi pengaruh, mulai Gus Dur, Gus Mus, Gus Miek, sama Gus Nuril, yang dari luar ya mesti jalaludin rumi, kadang al ghazali dan abdulqadr jaelani (al,el,dul)... jujur sampai saat ini ngejar mistisisme itu berat, tapi paling ga lebih memberi kedamaian dalam hati daripada hanya kecipratan luarnya (syariah & fiqh atau dogma mentah) saja, belajar seperti ini enaknya paling ga nilai spiritual terisi jadi nggak cuman nilai rasional aja, soalnya bisa jadi intellectual asshole (duh aku sek sering dadi asshole, mentertawakan para bigot) jadi balance sih... karena aku setuju sama artikelmu kalau kebutuhan beragama itu abstrak kayak seni, jadi ya menurutku jalan yang enak ya mistisisme...
BalasHapus*tambahan uneg2 aja sih* btw islam liberal hasil pemikiran ulil abshar abdalla itu juga lebih ke penerapan mistisisme juga lo aslinya, cuman banyak bigot yang merasa kalau yang liberal itu seolah "meringankan" "menggampangkan" keber-agama-an, ulil abshar abdalla sendiri sebenarnya juga relijius, dari pengakuan istrinya yang kebetulan aku surf di sosmed ulil selalu ngaji tiap habis sholat (yang para bigot sendiri belum tentu melakukannya)
*tambahan lagi* aku lupa baca dimana, ada yang bilang kalau syekh siti jenar itu alter ego nya sunan kalijaga...
Ken, wis tau moco
Conversations with God¿
Le' The God Delusion¿
Ada ungkapan kebenaran yang hakiki hanya bisa dilihat melalui mata kematian (ada yang mau coba atau berani coba duluan supaya bisa tau mana kebenaran yang hakiki???)
BalasHapusmbak, mau tanya buku apa aja yang menunjang bisa dapat pemikiran brilian kaya gini ya, tks
BalasHapus