Sex : Pleasure & Taboo

Jadi, sebulan lalu saya habis pinjam buku berjudul "Teologi Seksual" oleh Geoffrey Parrinder, yang saya temukan di perpustakaan independen di Surabaya bernama C2O Library. Ini buku edisi terjemahan, tapi terjemahannya agak kacau jadi agak kurang nikmat dibaca (penerbitnya LKiS Yogyakarta). Isinya merangkum pandangan dari agama-agama di dunia (Hindu, Buddha, Shinto, tradisi Afrika, Yahudi, Islam, Kristen, hingga Baha'i) mengenai seksualitas manusia. It's an interesting topic (it's about sex omg!), dan topik-topik sosial-budaya semacam ini adalah hal yang kerap menarik minat saya (jadi nyesel kenapa dulu masuk teknik). Melalui tulisan ini saya mencoba merangkum kontennya, dengan mungkin sedikit tambahan berupa analisis dan sintesa dari saya. 

Seks : Yang Tabu & Yang Nikmat

Sebuah lukisan Hinduism menggambarkan percintaan Krisna & Radha (circa 1775 - 1780 M), berdasarkan karya puisi Gita Govinda. India adalah negeri dengan kebudayaan yang unik. Dalam menyikapi seks, Hindu bisa dilihat bersifat naturalistik dan erotik. Beberapa teks Hindu mengatakan orang bijak harus acuh pada ikatan semua manusia, namun dewa-dewa dan orang bijak justru mengajarkan tentang kenikmatan dan cinta kepada manusia. (1) 
Membicarakan seks itu bisa berarti dua hal: tabu, namun juga bikin penasaran. Di Indonesia, membicarakan seks - termasuk di dalamnya membicarakan orientasi seksual, fetish, dll - secara terbuka adalah hal yang dirasa kurang etis dan bisa-bisa dicap amoral. Hampir seluruh agama mengajarkan bahwa seks adalah hawa nafsu yang harus dikekang, mulai dari kepercayaan asketisme (contoh: selibat, tidak melakukan hubungan seks sama sekali) oleh Buddhist atau pastor & biarawati di Gereja, hingga konsep yang sedikit longgar bahwa seks yang halal adalah seks dalam perkawinan. Kebudayaan Barat (dan mungkin Jepang) seabad terakhir ini memang jauh lebih longgar dalam memahami seks yang boleh dan tidak, konsep casual and consensual sex di luar pernikahan adalah hal yang biasa. Perilaku "free sex" yang melanda anak muda di Indonesia jaman sekarang membuat para generasi tua mengkambinghitamkan Barat sebagai pemberi pengaruh buruk. Namun, setabu-tabunya kita membicarakan seks, seks - barangkali - menjadi salah topik pembicaraan "underground" favorit siapapun. Mulai dari selevel anak kelas 6 SD yang diam-diam menemukan majalah porno orangtuanya, hingga kakek-kakek berusia lanjut, atau bahkan ibu-ibu ngerumpi yang membicarakan permasalahan ranjangnya. Anda boleh menabukan seks, mengharamkan seks di luar nikah dengan ayat-ayat agama, namun anda tidak bisa mengingkari bahwa begitu banyak ahli agama (mulai dari ulama di pesantren hingga pastor gereja) itu sendiri yang terlibat skandal seks. Dan tak ada yang lebih menarik dari membicarakan skandal seks orang lain! (or is it just me?)

Yang patut diketahui adalah penilaian atau etika moral akan seks dan seksualitas bergeser seiring dengan perkembangan zaman. Mengutip dari yang pernah disampaikan tokoh Brad Pitt di film 12 Monkeys: "There is no right or wrong, there is only popular opinion,". Penilaian kita akan seks yang benar dan salah, yang haram dan yang halal, adalah sesuai dengan budaya yang kita anut saat ini. Kelumrahan pada masa kini, berbeda dengann kelumrahan masa lalu, dan akan berbeda lagi dengan yang dianggap lumrah di masa depan. Berikut ini adalah salah satu contoh :
  • Pelacuran saat ini dipandang sebagai sesuatu yang buruk. Namun menurut sejarah, pelacuran sendiri sudah ada dari jaman dahulu kala. Bahkan, ada konsep pelacuran kelas tinggi seperti geisha di Jepang atau hetairai di Yunani yang dianggap menjadi sesuatu yang "wajar" atau "bukan sesuatu yang kelewat buruk". Bahkan, tampaknya geisha dan hetairai adalah perempuan yang pandai dan memiliki keterampilan. Pada masyarakat Athena jaman dulu, perempuan tidak punya hak sipil dan pendidikan. Justru dengan menjadi hetairai, perempuan dituntut tidak hanya cantik, tapi juga menguasai filsafat, bahasa, politik dan keterampilan seni untuk mengimbangi "kliennya". Fun fact: bahkan tokoh penting sepertu Pericles dan Epicurus juga punya hetairai-nya masing-masing dan seorang negarawan terkemuka Solon diketahui menjadi germo pertama di Athena. (2) 
****

 Seks : Prokreasi & Rekreasi

Seks menjadi sesuatu yang tabu, menjadi sesuatu yang sakral, hingga bahkan pada tradisi Tantra seks menjadi sebuah ritual keagamaan, berangkat dari fungsi seks sebagai prokreasi dan rekreasi (hiburan). Fungsi pertama seks adalah sebagai prokreasi, yang artinya menghasilkan keturunan. Hal ini tentu menciptakan pandangan bahwa untuk menghasilkan keturunan yang baik, maka seks harus dilakukan dengan baik - yang akhirnya (menurut saya) berujung pada pensakralan persetubuhan itu sendiri. Namun kita juga nggak bisa mengelak bahwa seks memberikan "kenikmatan" (rekreasi). Ada sebuah ide bahwa manusia adalah satu-satunya makhluk hidup yang menikmati seks just for fun, namun rupanya banyak penelitian yang kemudian membuktikan bahwa hewan lain mungkin juga bisa orgasme dan melakukan seks just for pleasure (bahkan ada penelitian dimana beruang melakukan oral sex(3) (4). Jadi, seks sebagai rekreasi dianggap sebagai naluri manusia itu sendiri, sebuah sifat alamiah fisik yang dimiliki manusia. Kontradiksi antara seks sebagai sebuah prokreasi (yang kemudian melekat pada nilai kesakralan) dan rekreasi (kenikmatan, yang dianggap membahayakan) akhirnya menjadi dasar beberapa agama dalam menyikapi seks.

PERNIKAHAN


Fakta bahwa manusia dari berbagai macam suku, etnis, dan agama yang tinggal terpisah di berbagai tempat mempunyai konsep serupa pernikahan adalah sesuatu yang sangat menarik buat saya. Ada penelitian yang mengungkapkan bahwa bisa jadi konsep monogami (atau pernikahan) dilakukan karena hal itu mengurangi dampak penyebaran penyakit seksual pada masa lampau (5). Seks, sebagai prokreasi, menurut analisis saya membuat manusia berpikir bahwa untuk melahirkan keturunan yang baik tentu harus dengan cara yang baik dan tidak boleh dilakukan secara sembarangan. Salah satunya adalah dengan konsep pernikahan, sebuah ikatan / perjanjian yang disakralkan. Seiring dengan perkembangan peradaban manusia, konsep pernikahan dan keluarga bisa jadi menjadi sebuah komunitas kecil yang dirasa memberikan kemudahan pembagian tugas dalam membesarkan anak (bapak tugasnya cari nafkah, istri ngurus anak). Mungkin ini merupakan suatu proses efisien yang diwarisi dari kehidupan purba sebelumnya. Prosesi pernikahan sendiri, biarpun berbeda-beda, umumnya mempunyai tata cara / adat yang menggambarkan simbolisme penyatuan kedua manusia. Tentu hal ini menggambarkan bahwa pernikahan bukanlah sesuatu yang asal-asalan, sebuah momen atau episode penting bagi seseorang. Pernikahan adalah hal yang suci. Walaupun kalau yang sinis sih bisa bilang bahwa pernikahan cuma sekedar legalitas seks.

Dalam masyarakat tradisional yang cenderung patriakal, poligami adalah sebuah kewajaran. Hal ini bisa kita temukan pada agama Yahudi dan Islam. Yahudi dan Islam juga cenderung lebih longgar dalam hal perceraian. Sementara itu, Kristen sendiri memiliki kecenderungan untuk monogami dan membenci perceraian. Yesus menegaskan keadaan monogamik sebagaimana aslinya ditentukan oleh Tuhan, "Dari awal penciptaan Dia menciptakan mereka laki-laki dan perempuan", dan Kitab Kejadian menunjukkan bahwa "Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya, dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua melainkan satu, Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia," (Matius 19:6).

ASKETISME & MONASTISISME



Seks bisa memberikan kenikmatan. Bagi filsafat maupun agama pada umumnya, kenikmatan duniawi lekat dengan sesuatu yang dianggap membahayakan dan menggerogoti rohani manusia. Asketisme sendiri, dikutip dari wikipedia, berarti: ajaran-ajaran yang mengendalikan latihan rohani dengan cara mengendalikan tubuh dan jiwa sehingga tercapai kebijakan-kebijakan rohani. Buddha, sebagaimana Hindu, merupakan sebuah agama yang fokus pada bagaimana memperoleh kebahagiaan. Bagi Buddha, penderitaan diakibatkan karena kita melekatkan diri pada nafsu-nafsu duniawi (cmiiw). Hubungan seks dianggap akan menimbulkan cinta yang akan mengalihkan biksu dari sumpah untuk hidup sederhana dan pencarian kebebasan (6). Untuk itulah biksu Buddhist memilih sumpah untuk hidup membujang. Kristen sendiri punya pandangan serupa yang mereka terapkan pada sumpah yang dilakukan oleh Pastor dan biarawati di gereja. Rasul Paulus - yang dianggap sebagai tokoh penting dalam penyebaran ajaran Kristiani - walaupun ini hanya konsesi, cenderung untuk lebih menghargai pembujangan maupun keperawanan karena dengan membujang manusia lebih punya banyak waktu untuk melayani Tuhan (monastisisme). Namun, bagi orang yang tak mampu, maka diperbolehkan untuk menikah (7).

Islam sendiri tidak punya ajaran monastik atau asketik, malah mempunya kecenderungan untuk menyuruh umatnya untuk menyegerakan menikah (menikah menyempurnakan separuh agama). Namun Islam punya ibadah puasa yang dilakukan selama 30 hari pada bulan Ramadhan, dimana salah satu larangannya adalah menahan hawa nafsu untuk berhubungan seks. Islam sendiri juga membenci perzinahan, hingga bahkan punya hukuman keji (yang kayaknya terpengaruh ajaran Yahudi) berupa dirajam atau dipukuli batu hingga mati. Puasa dan larangan perzinahan sebenarnya menandakan bahwa Islam sendiri menganggap bahwa nafsu seks adalah sesuatu yang harus dikekang dan dikendalikan. Puasa merupakan sebuah latihan praktek olah rohani. Namun, bisakah kamu menebak apa ganjaran seorang laki-laki yang mampu menahan hawa nafsunya di dunia? Yap, seks dengan bidadari perawan di surga. Ini adalah salah satu paradoks yang kerap kali menjadi bahan serangan bagi ajaran Islam.

SEKSUALITAS YANG DILARANG


Berangkat dari manfaat utama seks sebagai sebuah prokreasi, maka agama banyak memberikan pelarangan pada hal-hal mengenai seks yang dirasa menyalahi fungsi utamanya. Sebagai contoh - yang lagi ramai dibahas sekarang - adalah homoseksualitas. Homoseks tentu tidak akan memberikan manfaat menghasilkan keturunan, dan hal ini dianggap oleh sebagian agama - utamanya agama samawi - sebagai penyalahan kodrat. Hal ini kemudian merujuk pada "mitos" penciptaan Adam dan Hawa, laki-laki dan perempuan, yang keduanya kemudian menghasilkan keturunan. Sehingga memang hakikatnya adalah laki-laki harus berpasangan dengan perempuan. Selain homoseks, tabu lainnya adalah incest (hubungan seks sedarah). *Saya belum tahu banyak soal kenapa larangan incest ini bisa muncul dalam peradaban manusia.

Selain homoseks dan incest, banyak bentuk-bentuk seks lain yang dilarang oleh sebagian besar agama (sebenarnya menarik juga bagaimana seksualitas manusia memperoleh pembahasan yang cukup dominan di agama). Jadi, jangan homophobic dengan langsung teriak anti LGBTQ kalau masih melakukan hal-hal mesum lainnya yang juga dilarang oleh agama. Seperti: seks oral, seks anal, nonton pornografi dan masturbasi. Kenapa? Karena hal-hal tersebut tidak bisa menghasilkan keturunan! Hal ini serupa dengan pandangan konservatif agama mengenai kontrasepsi yang dianggap menyalahi fungsi seks sebagai prokreasi. Anak dianggap sebagai rejeki.

Fun fact: tahu dari mana istilah onani? Rupanya onani berasal dari kata Onan, merujuk pada tokoh bernama Onan dalam Kitab Kejadian (Perjanjian Lama Kristen). Onan dikisahkan harus mengawini istri kakaknya yang sudah tiada dalam "Levirate Marriage". Namun karena ia tahu bahwa anaknya nanti tidak akan dianggap sebagai anaknya, saat persemanggaan ia membiarkan air maninya terbuang. Rupanya, hal ini membuat Tuhan marah (8). Boleh dibilang, sebagian agama melarang onani dan menganggapnya sebagai sesuatu yang buruk karena adanya anggapan bahwa air mani laki-laki seharusnya tidak disia-siakan. Terutama bagi kebudayaan Cina di masa lalu, sperma dianggap benih yang sangat berharga (9). Simbolisme seksualitas laki-laki juga kerap diasosiasikan sebagai "penebar benih", sedangkan simbolisme seksualitas perempuan seringdigambarkan sebagai bumi, dewi kesuburan, atau istilah "ladang" dalam Islam (Al Baqarah 223).

****
Pergeseran Norma Seks Saat Ini

Hmm.. mungkin untuk menuliskan ini butuh analisis yang lebih dalam dan akurat, tapi di sini saya cuma ingin sekedar share apa yang saya pikirkan. Mungkin berawal dari "culture revolution" pada tahun 60-an di Amerika Serikat, norma seks tidak lagi seketat sebelumnya, or at least pembicaraan mengenai seks dan seksualitas jauh lebih terbuka daripada era sebelumnya. Casual sex (selama consensual) atau pre-marital sex menjadi sesuatu yang lazim, utamanya bagi budaya Barat. Walaupun kerap dijumpai, di Indonesia sendiri seks di luar pernikahan atau "kumpul-kebo" secara pandangan umum masih dianggap hal yang buruk. Namun saya sendiri melihat ada kecenderungan perubahan kebudayaan global ke arah lebih liberal dan menghargai privasi orang lain dibandingkan era sebelumnya. Mungkin pre-marital sex tidak mengenal orang kota atau orang daerah, namun ada kecenderungan kaum urban sendiri untuk lebih terbuka dalam hal yang disebut pergaulan bebas. Pergeseran norma akan seksualitas dan konsep pernikahan, dipengaruhi oleh begitu banyak hal yang terjadi:
  • Pengaruh media yang lebih terbuka terhadap issue seks (50 shades of grey as 21st century romance story? wtf?)
  • Gerakan feminisme
  • Lebih terbukanya orang dengan LGBTQ, terutama dengan semakin majunya penelitian yang cenderung mendukung LGBTQ sebagai sesuatu yang normal dan natural-born. 
  • Pesatnya transfer ilmu pengetahuan seiring dengan kemajuan teknologi internet
  • Penemuan alat kontrasepsi: pil KB dan kondom 
  • Less-religious people 
Dengan alasan-alasan yang saya sebutkan di atas, maka timbul kecenderungan pada masyarakat saat ini untuk menganggap bahwa seks sebagai sesuatu yang natural dan sekedar aktivitas fisik. Kesakralan akan seks itu sendiri menjadi berkurang, dengan anggapan bahwa seks adalah sesuatu yang wajar. Ini tentu berpengaruh terhadap bagaimana sebagian orang kini memandang pernikahan, yang melihat pernikahan sebagai sekedar sesuatu aspek legal di hadapan negara, bukan lagi sebuah janji suci yang sakral atas nama agama dan norma adat. Atau dengan membanjirnya film-film romantis, sebagian memandang pernikahan sebagai sebuah "celebration of love" - sebuah perayaan cinta itu sendiri, bukan sekedar "legalitas seks" atau tujuan luhur membentuk keluarga dan mencegah perzinahan. FYI, pernikahan karena cinta sendiri adalah sebuah konsep baru dalam peradaban. Jaman dahulu pernikahan lebih dipandang sebagai sebuah ikatan politis, ekonomi atau sosial (10).

Lalu apakah pergeseran norma seks ini menjadi sesuatu yang buruk? Tergantung bagaimana sudut pandang Anda menyikapinya. Bagi yang beragama dan memegang teguh kultur lama, akan menganggap hal ini sebagai sesuatu yang disebut amoral atau bahkan menjadi tanda-tanda akhir jaman. Saya sendiri melihat perubahan ini sebagai sesuatu yang tidak bisa dihindari, konsekuensi dari perubahan jaman ini sendiri. Seks kini dipandang sebagai sesuatu kewajaran, sekedar dorongan / naluri yang dipunya manusia sebagai makhluk hidup. Namun saya tetap merasa bahwa selayaknya seks dilakukan dengan penuh tanggung jawab, dan berpendapat bahwa sex is making love - saya menyayangkan jika sakralitas itu luntur dan membuat manusia bercinta tanpa esensi. Tapi toh saya menghormati pilihan pandangan masing-masing orang.

****

Selanjutnya, kalau nggak malas, saya akan membahas simbolisme menarik yang muncul dari seksualitas manusia dalam tulisan berikutnya. Maunya sih dibikin dalam satu tulisan, tapi rupanya capek juga nulis panjang-panjang hahaha... Dan saya yakin tulisan panjang pun rawan bikin orang males baca (soalnya saya begitu sih). Ngomong-ngomong, tulisan ini sebenarnya saya bikin karena kepentingan diri saya sendiri sih. Jadi semacam bikin sintesa rangkuman dari apa yang baca dan apa yang telah saya ketahui. Mungkin jikalau ada yang lebih pakar, mau menyanggah atau memberikan tambahan pengetahuan, bisa tulis di kolom comment! Thanks a lot.

Reference:
(4) Yes, Other Animals Do Have Sex For Fun (blog.discovermagazine.com)
(7) Teologi Seksual : Geoffrey Parrinder.
(8) Onan (wikipedia)
(9) Teologi Seksual : Geoffrey Parrinder.
(10) Let's Talk About Love (kontemplasiliar.blogspot.com)

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer