Menjadi Ambisius. Do or Don't?

Oops.

Apa kata yang terlintas ketika mendengar kata ambisius? Biasanya berkonotasi positif jika kamu sendiri yang ambisius, tapi berkonotasi negatif jika yang ambisius adalah orang lain.
Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), arti ambisius adalah berkeinginan keras mencapai cita-cita, penuh ambisi. 
Apa yang salah dengan berkeinginan keras mencapai cita-cita? Tidak ada - kecuali caramu menabrak orang lain. Namun menerapkan logika "mencapai cita-cita" dengan "menghargai perasaan orang lain" kenyataannya sangat susah di lapangan. Dan akui sajalah, orang yang ambisius biasanya tidak enak diajak berteman. Karena mayoritas orang hobi bersantai-santai dan bersenang-senang, sedangkan orang ambisius adalah tipikal manusia pekerja keras. Orang ambisius tampaknya juga cenderung menjadi orang yang egois (karena dia punya cita-cita yang ia kejar, dan buat apa capek-capek mikirin orang lain?) dan boleh-jadi bersikap lebih sok dibandingkan orang-orang di lingkungan pergaulannya. Dan giliran berteman dengan sesama ambisius malah jadi kompetitif dan bisa-bisa berbuntut saling menjatuhkan.

Saya punya teman yang ambisius. Dia punya cita-cita tinggi, pekerja keras dan optimis - tapi dia mengeluh teman-temannya tidak bisa memahami dia. Malahan, dia merasa dinyinyirin. Dia jadi sedih. Tapi itu tidak menghalangi dirinya meraih apa yang dia inginkan. Perspektif dirinya akan mengatakan bahwa dia adalah orang pantang menyerah yang tidak peduli pendapat orang lain, perspektif orang lain mungkin akan mengatakan bahwa dia sok hebat. Dua hal ini tampaknya memang tidak bisa dipisahkan.

Whiplash (2014) menunjukkan bahwa ambisius adalah sifat yang menyulitkan

Berhubung saya penikmat film juga, salah satu film yang dengan benar menunjukkan harga sebuah ambisi ada pada film Whiplash (Damien Chazelle, 2014). Film ini bercerita tentang Andrew (Miles Teller) yang ambisius menjadi penabuh drum terbaik. Bersekolah di sebuah sekolah musik, Andrew berhadapan dengan guru yang super-killer Terrence Fletcher (J.K. Simmons) yang mengajar dengan keras - kalau nggak mau dibilang jahat. Terrence Fletcher adalah semacam super-villain yang semacam mengobrak-abrik ajaran parenting yang mendidik anak dengan cara dorongan positif. The word he said was: "There are no two words in the English language more harmful than "good job",". *Ada guru macam gini saya udah depresi kalik.

Intinya, demi memenuhi ambisi pribadinya dan mendapat pengakuan dari sang master Terrence Fletcher, Andrew harus mati-matian bermain drum. Andrew harus latihan begitu keras, hingga kalo nonton filmnya kamu akan dibikin ngilu ketika melihat jari-jari Andrew yang berdarah saking kebanyakan nabuh drum. Dalam sebuah percakapan di meja makan, Damien Chazelle sang sutradara juga berhasil menjelaskan karakter Andrew yang sangat individualis hingga merasa tidak ada gunanya punya banyak teman. He said, "I'd rather die drunk, broke at 34 and have people at a dinner table talk about me than live to be rich and sober at 90 and nobody remembered who I was,". Melalui jalinan cerita filmnya, kamu juga akan tahu bahwa ambisi Andrew juga membuatnya terisolasi dari hubungan personal dengan cewek yang ia taksir. So, apa yang hendak disampaikan Whiplash adalah ada harga mahal (kerja keras, stress, jari-jari berdarah, kecelakaan, nggak punya pacar) yang harus ditebus untuk meraih ambisimu.


Selain Whiplash, film lain yang juga menjelaskan ambisi adalah perjalanan Mark Zuckerberg dalam mendirikan Facebook, yang terangkum dalam sebuah film peraih Oscar, The Social Network (David Fincher, 2010). Secara garis besar, film itu menunjukkan - sesuai dengan tagline-nya - "You don't get 500 million friends without making a few enemies,". Oke terlepas dari pencitraan si Mark yang kelihatan so sweet banget sama istrinya dan down to earth sebagai orang kaya, The Social Network menerangkan bagaimana ambisi diri si Mark ini membuatnya bermusuhan dengan beberapa orang, termasuk sang sahabat sendiri. Ironis kan?

So, based on this two movies (and my experience), menjadi ambisius membuatmu harus mengorbankan beberapa hal. You can't pleased everyone, but at least you know how to please yourself. 

Lalu, apakah menjadi ambisius ini adalah hal yang buruk?

Saya tidak mengatakan ambisius murni adalah sesuatu yang buruk. Karena semua hal selalu bisa dilihat dari perspektif yang berbeda, dan sifat manusia tidak bisa dinilai hitam dan putih.

Oke, menjadi ambisius membuatmu kehilangan teman, mungkin hingga di taraf kesepian, tapi setidaknya kamu meraih apa yang dambakan: kesuksesan. Dan peduli amat dengan pendapat orang lain yang sibuk nyinyir di belakang, jika ambisius membuatmu meraih apa yang tidak bisa orang-orang nyinyir itu raih. Saya percaya tanpa orang-orang ambisius, banyak hal di dunia ini yang tidak bisa terjadi. Teknologi, sains, sejarah yang terjadi - semuanya mencatatkan orang-orang yang ambisius di bidangnya masing-masing. Dan kalo semua orang nggak ambisius dan terlalu memikirkan perasaan orang lain, bisa jadi hidup manusia gitu-gitu aja. Namun, tentu saja sekali lagi ada hal lain yang harus kamu korbankan untuk bisa menjadi cita - cita. (Bahkan saya pernah baca, bahwa orang makin sukses temannya makin dikit. Karena ga semua orang bisa berteman dengan orang sukses tanpa merasa terintimidasi).

Lalu, apakah ambisius adalah pilihan?

Mungkin iya. Tapi saya rasa namanya 'bawaan sifat' adalah semacam signature print dari dirimu sendiri sebagai seorang manusia. Saya rasa pada level sifat manusia yang paling dalam, kamu akan bisa merasakan apakah ambisius merupakan panggilan alami dirimu atau tidak. Jika memang sifat dirimu ambisius, be it. You can't fool yourself.




*Anyway, saya sendiri bukan tipikal orang ambisius. Saya ini tipikal klelat-klelet pencari kedamaian dan nggak bisa nggak peduli dengan perasaan orang lain. Mungkin hobi saya nyinyir, tapi saya tipikal penjilat yang cuma berani di belakang... Ah, this is just who I am. Bad or good. Sifat manusia tidak hitam-putih kan?

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer