Tinder Experience #2: Yes, I Do Have A Type!

Emh... tulisan random ini sama sekali bukan based on scientific method atau ada tinjauan ilmiahnya.. Cuma berdasarkan analisa sok tau dari pengalaman pribadi. Jadi entah apakah kamu merasakan hal yang sama atau tidak, atau kesimpulan saya bener atau enggak. Atau mungkin saya akan dicap "ribet" banget urusan cari jodoh (ada yang bilang gitu sih hahahaha... Saya sadar kok saya orangnya emang orangnya ribet).

Selamat membaca.

....

Dalam setiap perbincangan basa-basi dengan teman dan kerabat, saya suka berkelakar: "Cariin jodoh donk!". Lalu ini biasanya diikuti dengan pertanyaan lanjutan, "Emang kamu pengen cowok yang kayak gimana?".

Hmm... that's a hard question to answer.

Biasanya sih kebanyakan orang kalau ditanya seperti itu jawabannya selalu standar:
"Saya nggak punya tipe macam-macam kok. Yang penting baik hati, bertanggung-jawab, dan cocok aja...."
Kalo ditanya tipe cowok, ya masa iya saya bakal jawab yang gantengnya kayak Michael Fassbender?

(But anyway, siapa sih cewek yang mau menjawab pertanyaan tersebut dengan: "Dia harus lebih tinggi dari saya, wajah good looking, suka olahraga, punya karir dengan gaji minimal 10 juta, ga punya emotional problem, sabar, setia.... dan menerima saya apa adanya,"? You'll get bullied and people will think you're an ass).

..

Jadi single di akhir 20-an, dimana saya juga berada di fase hidup dimana nafsu skeptis saya lagi besar-besarnya, saya berpikir bahwa saya menyukai cowok yang cerdas. Istilahnya, saya pikir saya sapiosexual. Bukan fisik yang menarik minat saya, tapi isi kepala sang pria... Saya nggak main fisik kok. Yang penting dia cerdas dan punya kepribadian yang baik. Selera saya nggak neko-neko. 

But damn. Saya main fisik juga. I just realize that I do have a specific type. Dan saya baru sadar juga bahwa saya ternyata SEDANGKAL itu. Dan ini terdengar sombong mengingat fisik saya juga pas-pasan.

Saya sadar hal itu sejak main online dating.

*Whatever, you can judge me such a pathetic loser for tryin' to find a right guy on online dating. Tapi seenggaknya berkat main online dating saya jadi lebih mengenal diri saya sendiri. Ya itu tadi, bahwa saya sedangkal itu mencari jodoh hahaha...

...

SETIPE.COM


Penjelasan singkat soal gimana setipe.com bekerja. But this site doesn't work for me. 

Saya awalnya ikutan setipe.com. Ini adalah aplikasi online dating yang menjodohkan kita dengan lawan jenis berdasarkan algoritma pemrograman. Kecocokan ini dilihat dari serangkaian pertanyaan yang diajukan di awal (ada banyak banget) seputar analisa psikologi diri kita dan preferensi kita soal calon idaman. Setelah hasilnya keluar, maka program setipe akan mencari jodoh dengan sifat-sifat yang sesuai dengan hasil yang kita dapatkan.  Secara science, ini harusnya berhasil.

Setipe.com menyiapkan beberapa pertanyaan di awal tentang preferensi ketertarikan kita terhadap lawan jenis. Ada pertanyaan semacam apakah faktor agama penting atau tidak, apakah etnis penting atau tidak, hingga apakah berat badan dan tinggi badan penting atau tidak. Di atas kertas, saya akan menjawab faktor-faktor fisik lawan jenis tidak penting. Yang penting hati! Tapi kemudian saya nggak bisa membohongi bahwa...
Physical attraction is important! 
Damn, I do have a type. A very specific type.

Tapi maksud saya soal fisik bukan melulu soal si tampang harus ganteng atau cantik. Kan ganteng dan cantik juga relatif. Yang saya maksud soal fisik ini lebih luas, alias hal-hal "luaran" seperti penampilan, selera, gaya hidup, atau errrr... penghasilan (atau pendapatan orangtuanya).


Sejauh pengalaman, ada yang missed dari algoritma situs setipe selama ini. Saya tidak pernah menemui cowok yang bisa bikin saya tertarik. Baik lewat fisik maupun deskripsi bio yang diberikan. Secara science mungkin pemrograman mereka sudah benar, namun rupanya dunia perjodohan tidak bisa disederhanakan begitu saja. Selain itu, kita tidak benar-benar mengetahui apa yang hati ini inginkan.

Contohnya begini: ketika ditanya apa faktor etnis penting buat saya? Saya akan jawab tidak. Namun ketika program algoritma setipe menawarkan saya dengan pria etnis tertentu (entah good looking atau tidak), ternyata saya toh tidak tertarik. Errrr... ini mungkin menjadikan saya sedikit rasis. Whoooo ~

Dan mungkin user Setipe.com memang kebanyakan bukan "tipe" saya. Apalagi, saya mainnya yang model gratisan dimana cowok-cowok yang dicocokkan hanya muncul satu kali tiap hari. Jadi lama-lama kan bikin males juga tho kalo nggak nemu yang cocok. Maka, beralihlah saya ke Tinder...

...

TINDER


How tinder works... your profile pic is really really really important.

Awalnya saya main tinder sekedar buat main-main sama sepupu saya, dengan niat ngerjain laki-laki mesum. Saya bikin pakai akun palsu dengan gambar cewek berhijab yang seksi (2 hal kontradiktif yang sukses membuat banyak cowok swipe right akun palsu saya. It seems like some guy want to get a good religious girl with naughty attitude in bed).

Wajar jika Tinder banyak digunakan untuk hal-hal mesum, karena emang sistem Tinder memungkinkan untuk itu. Tinder akan menampilkan orang di sekitar kita (based on radius yang kita pasang), dengan beberapa foto yang diupload, usia, dan deskripsi singkat sebanyak 500 karakter. Kalau suka kita swipe kanan, kalo nggak suka kita swipe kiri. Kalo dua-duanya swipe kanan, maka artinya match dan bisa mulai chatting.

Jelas, secara teori Tinder ini lebih "dangkal" daripada Setipe.com. Tapi kemudian saya sadar bahwa saya memang.... sedangkal itu. Yang dangkal-dangkal itu ternyata penting pada kesan pertama. Lagian emang "hati" bisa dilihat dari profil online dating?

Saya sendiri berusaha mencitrakan diri saya "se-cool" mungkin (dan seserius mungkin). Saya pasang foto di sebuah art gallery (padahal ga tahu seni rupa dan lukis sama sekali), dengan caption panjang yang menjelaskan dengan akurat siapa diri saya. Saya menulis ketertarikan diri saya pada sains, filsafat, gosip dan film. Intinya, saya berusaha terlihat "hipster-wanna-be", tapi sedikit "fun", biar ga disangka sombong. Gitu. Ini lho yang disebut strategi pencitraan!

Karena cuma sekedar swipe kanan dan swipe kiri dari sedikit informasi, maka first impression rata-rata berasal dari tampang dan sedikit caption di bio. Setelah sekian banyak main swipe kiri dan kanan, dari sinilah akhirnya saya mengetahui bahwa saya rupanya emang punya tipe spesifik tentang cowok yang langsung bikin saya attract.. Haha ~

Yang saya swipe kanan biasanya yang model begini: cowok-cowok yang artsy berantakan, rock-and-roll dude or vintage-hipster guy, cowok-cowok yang masang foto dengan kucing atau anjing, yang selera musik di spotify-nya non-mainstream, atau... cowok-cowok berkacamata. Saya nggak main fisik ketika caption-nya bikin saya tertarik. Mereka yang berusaha filosofis, atau yang mengungkapkan hobi-hobi mereka yang sealiran dengan saya. Eits... tapi ada tambahan satu lagi. Dan ini asli dangkal banget: saya rasa fetish saya adalah cowok-cowok main gitar. Jreng!

Llyewn Davis is my ideal type of guy. Sarcastic, playin folk song, have a good beard and hot af. 

Saya rasa, ini yang luput dari Setipe.com. Preferensi ketertarikan saya ada pada hal-hal spesifik macam selera musiknya harus yang non-mainstream, suka nonton film, main gitar, suka kucing, menghargai seni dan budaya (pokoknya bukan philistine lah), open minded, dan pengetahuannya harus luas. HAHA! Hal-hal semacam itu nggak ada di daftar pertanyaan Setipe.

Yang menarik, sejauh pengalaman main tinder, rupanya faktor lokasi itu juga berpengaruh. Saya jarang nemu cowok-cowok main tinder yang sesuai tipe saya di Surabaya, kota saya. Ada sih beberapa, tapi susah nemunya. Paling ada beberapa di Malang. Tapi begitu saya main ke Bandung, Jakarta, atau Jogja... tipe-tipe cowok saya itu langsung banyak. Entah apa karena cowok-cowok model begitu di Surabaya emang jarang yang main tinder, udah laku semua, atau memang setiap kota punya "stereotype" sendiri-sendiri.

Dan menariknya lagi, tingkat "laku"-nya saya juga cenderung rendah di kota Surabaya dibandingkan di kota-kota lain (di kota lain juga ga laris-laris amat sih, tapi mendingan lah haha). Susah banget dapet yang match di Surabaya. Padahal saya sampai swipe kanan secara random, tapi tetap nemu yang match itu susahnya minta ampun. Beda ketika saya pakai akun palsu saya (hijab dengan senyum menggoda), yang match langsung banyak.... Ini bikin saya mikir pantes saya susah cari jodoh. Saya tinggal di kota yang salah. Ditambah punya wajah dan kepribadian yang salah. Oh, man....

...

TOMBOL-TOMBOL PREFERENSI KETERTARIKAN SEKSUAL


Ibarat otak manusia itu ada tombol-tombol "perasaan" yang bisa ditekan. Tombol-tombol ini harus dipencet supaya bisa jatuh cinta.

Berhubung saya suka banget mempelajari tentang psikologi manusia dan evolusi (secara otodidak, because I'm graduated from engineering...), saya seperti mendapat kesimpulan tentang bagaimana orang memilih jodoh. Saya merasa bahwa di kepala manusia itu ada semacam tombol-tombol preferensi ketertarikan terhadap lawan jenis (atau sesama jenis). Tombol-tombol ini sifatnya bawah sadar, bisa jadi ga bakal dijawab kalau ditanya langsung ke yang bersangkutan. Entah dia berusaha sopan, menutup-nutupi, atau mungkin nggak sadar. So people do have a type. 


Maka ketika kita bertemu dengan orang yang ada dalam daftar tombol-tombol tipe kita (either you do realize it or not), maka tombol-tombol itu kepencet dengan mudahnya. Sebelum kamu sadari atau bisa menguasai diri, kamu sudah jatuh hati.


Dan jika berbicara dalam lingkup entitas manusia dalam biologi evolusioner, maka tombol-tombol itu erat kaitannya dengan preferensi seksual. Kita manusia ini kan produk evolusi yang punya nafsu seksual untuk berkembang biak. Jadi, ketertarikan tadi berkaitan dengan "seperti apa" calon pasangan yang bisa bikin kita napsu. Kalo mau romantis dikit, boleh lah dibilang yang bisa bikin kita cinta.

Saya pernah membaca bahwa ada penelitian yang menunjukkan kecenderungan seseorang untuk memilih pasangan berdasarkan kesamaan dengan orangtua lawan jenisnya (jadi misal anak perempuan cari cowok kayak bapaknya dan anak laki cari cewek kayak ibunya). Ini mungkin ada hubungannya dengan bawah sadar otak manusia yang ingin melestarikan gennya. Sigmund Freud mungkin juga punya penjelasan tentang ini...

Lalu, pernah berpikir juga kenapa sering ada pendapat yang bilang jodoh mukanya mirip? Argumennya bukan kalo mukanya mirip trus jodoh, tapi karena orang cenderung punya ketertarikan pada orang lain yang mirip dengan dirinya sendiri. Bisa jadi ini juga karena faktor ingin melestarikan gen itu tadi. Ini juga menjelaskan bahwa orang yang merasa dirinya cakep (walaupun belum tentu cakep) cenderung tertarik sama yang juga cakep. Atau mereka yang punya hobi tertentu, tertarik dengan orang lain dengan hobi yang sama. So... opposite attracts is not true. Kesamaan itu lebih bisa menarik hati. Dan ini mungkin juga bisa dijadikan alasan pembenaran pada pernyataan, "Cewek baik-baik, dapatnya cowok baik-baik,". Walau nggak selalu juga sih.

Selain itu, coba perhatikan deh. Kadang orang cari pasangan yang mirip-mirip dengan mantannya. Because we all do have a type! 

Tapi tho memang, manusia nggak bisa disamaratakan. Ada yang aseksual, homoseksual, panseksual - mungkin ini semacam "mutasi" dari produk evolusi. Atau ada juga yang punya nafsu seksual tanpa melibatkan rasa cinta, ada yang sedikit picky. Ada yang preferensinya pada orang dengan etnis tertentu, dll. Manusia itu macem-macem.

...

KENAPA ADA CEWEK YANG SELALU TERJEBAK DENGAN COWOK YANG SALAH


Entah kenapa saya teringat Rihanna (dan almarhumah Jupe) kalo ngomongin cewek yang memilih cowok yang salah

Berbekal kesimpulan ngasal (tapi mudah-mudahan masuk akal) ini, maka saya punya opini khusus tentang kenapa some people always got stuck with wrong people. Mungkin kamu punya teman cewek cakep baik hati yang entah bagaimana selalu terjebak dengan cowok brengsek yang salah.

Pertama, mungkin ada alasan psikologis. Addiction to sex erat kaitannya dengan personal problem ingin dicintai (buat cewek terutama, entahlah kalo cowok). Kadang dia juga punya Daddy's issue, semacam tidak punya gambaran tepat laki-laki yang baik seperti apa karena kehilangan figur ayah.

Kedua, masalah klasik "siapa tahu dia berubah". Biasalah... kita memulai hubungan dengan selalu berharap pasangan kita akan berubah. Saya kasih tahu ya, ini gambling banget. Kamu berharap pasangan berubah tapi pasangan tidak akan berubah, atau kadang kamu berharap pasangan nggak berubah eeeeh pasangan malah berubah!

Ketiga, faktor preferensi itu tadi. Setiap orang punya tombol-tombol di kepalanya yang menunggu dipencet oleh orang yang sesuai. Syukurin aja kalo kamu punya ketertarikan pada orang yang benar, tapi kadang beberapa orang lain harus terjebak pada orang yang salah. Pada suami orang, pada tante-tante, pada orang brengsek, pada aki-aki tua kaya raya (kayak "selebgram" itu lho)... Ini nggak bisa dicegah! The heart wants what it wants... 

...

IT'S NOT ONLY ABOUT OUTSIDE


Kalo based on appearance doank saya bakal milih Malfoy, tapi kalo based on personality saya milih Ron Weasley! 

Perlu diketahui, preferensi yang saya terangkan di atas tidak melulu tentang penampilan luaran saja. Tapi juga menyangkut kepribadian. Beberapa tombol yang harus dipencet itu juga melibatkan kepribadian seperti apa yang bisa bikin kita jatuh hati. Sayangnya, online dating site semacam Tinder tidak bisa menawarkan itu. Karena kepribadian itu harus dikenali terlebih dahulu, bukan sekedar pencitraan yang ditulis di caption bio.

Beberapa cewek tertarik pada pria yang maskulin dan alphamale, beberapa yang lain tertarik pada pria sederhana, beberapa tertarik pada yang humoris dan badut kelas, beberapa tertarik pada pria yang relijius dan "imam keluarga banget".

Physical attraction emang penting, tapi penting juga untuk memahami kepribadian pasangan seperti apa yang bisa bikin kamu tertarik dan emang sesuai dengan kepribadianmu. Di sinilah saya rasa Setipe.com lebih unggul daripada Tinder.

Sejauh mana tombol-tombol tipe / preferensi ini penting?

Saya nggak tahu dengan semua orang seperti apa. Tapi kalo kasus saya sendiri saya menyadari bahwa saya tidak bisa jatuh cinta dengan lelaki yang tidak sesuai dengan "tombol-tombol" tipe lelaki idaman saya. Belum lagi, saya punya "tombol-tombol" yang bisa bikin saya ilfil: lelaki megalomaniak nan oportunis. Big no. Atau mereka yang nggak paham musik dan film. Haha.

Perlu diingat juga, bahwa kamu juga tidak bisa mengharapkan pasangan bisa "mencet" semua tombol-tombol tipe / preferensi itu. Kan katanya tidak ada yang sempurna di dunia ini. Namun sejauh mana kamu bisa menolerir tombol mana yang tidak dipencet dan mana yang dipencet. (Ini apa-apaan ya analoginya saya dari tadi pake tombol yang dipencet).

...

Begitulah.

Panjang banget ya. Kalo ngomongin relationship saya emang cerewet. Saya tuh sebenarnya kepengen bisa jadi mak comblang semacam Patti Stranger dari Millionaire Matchmaker. Atau saya juga kepengen jadi konsultan hubungan dan perkawinan, tapi masalahnya saya belum kawin... jadi siapa yang bakal percaya.

Komentar

Postingan Populer