Story of My Love Life : Jodoh Adalah Kebetulan yang Romantis (Part 1)

Kisah cinta saya kalau dibikin film kepengennya bisa kayak (500) Days of Summer. Sederhana tapi romantis dan bisa bikin baper. Trus saya mau donk yang meranin saya Zoey Deschanel atau Rachel McAdams.... *ngarep*

Peringatan, tulisan kali ini sama sekali tidak kontemplatif. Tapi lebih ke arah *uhuk* curhatan pribadi. Tsaaah...

Saya tahu tulisan ini alay sekali. Masalahnya, saya ini sudah di usia akhir 20 tahun-an tapi masih ngeblog untuk nulis cerita pribadinya. Tentang cinta pula! Norak sekali! Tapi yaaaahh... cinta kadang membuat orang melakukan sesuatu yang tidak masuk akal. Sebagai seorang perempuan yang berlagak otak rasionalnya sejalan dengan emosionalnya, pada akhirnya saya menyerah dengan perasaan yang dikendalikan hormon di dalam otak ini.

Damn. Love still make me do silly things. Like writing this stuff.

Mungkin akan tiba masa dimana saya membaca ulang postingan ini dan kemudian menyadari bahwa saya alay sekali. Lalu bisa jadi saya akan menghapus postingan ini di masa depan. Ditambah lagi, saya bukan tipe yang suka pamer cerita dan foto mesra di sosmed - karena saya sendiri hobinya nyinyirin pasangan model begini. Tidak disangka bahwa saya kini berada di fase yang norak dan layak dinyinyiri ini...

Ah, hentikan aksi membela diri yang pathetic ini. Ijinkan saya untuk mulai bercerita....

2015. SAYA PUTUS SETELAH PACARAN 7 TAHUN.




Tahun 2015 saya putus setelah pacaran 7 tahun dan uda mau tahap lamaran. Sejujurnya hal ini bikin saya galau. Sebagian karena shock (karena saya putusnya mendadak dangdut banget), sebagian lagi karena sakit hati, sebagian lagi karena sedih jadi jomblo lagi di usia yang harusnya udah kawin (padahal ya ga ngebet kawin juga sih. Cuma kan takut juga bakal forever alone). Intinya yang jelas habis putus ini saya galau parah. Ga sampe depressed kayak di film-film sih, tapi putus ini bikin saya lumayan emosional. Campuran sempurna antara marah, kesal, sedih, tersakiti... pokoknya lumayan drama. Tahap galaunya udah bisa dijadikan bahan ngarang lagu seperti Adele. 

Saya ini sebenarnya tipe romantis dan melankolis, tapi di lain sisi saya juga suka mempelajari psikologi otak manusia, sehingga saya jadi percaya bahwa cinta itu sebenarnya nggak gitu-gitu amat. Setelah pacaran 2 tahun pas sama mantan dan fase in-love ala ABG sudah berakhir, saya sudah nggak terlalu muluk-muluk soal cinta. Nah, setelah putus, saya justru jadi makin skeptis sama yang namanya jodoh dan cinta. Kalau ketemu orang yang suka menasehati tentang jodoh dan percaya takdir (yang kira-kira omongannya begini: "Berdoa aja, kalau jodoh nggak akan kemana. Tuhan sudah menyiapkan jodoh terbaik untukmu,"), saya cuma bisa tersenyum kecut sambil memendam nafsu sarkasme saya. Intinya saya sudah haqqul yaqin kalau jodoh dan soulmate itu nggak ada. Jodoh itu... ya cuma kebetulan doank.

Tapi, biarpun saya sudah pesimis abis sama yang namanya lelaki dan hubungan cinta, saya tetap aja masih suka nonton film romantis. La La Land? Saya baper setelah nonton dan bercita-cita pegang-pegangan tangan di bioskop kemudian menari di planetarium sama kekasih hati.... (Trus kalau bisa cowoknya seganteng Ryan Gosling!).

AKHIR 2016. MULAI BIKIN TINDER.




Saya ini bukan tipe easy going. Jadi sebenarnya agak susah buat saya untuk dekat dengan cowok. Apalagi, saya ini tipikal cewek yang auranya friendzone (alias cowok dekat dengan saya murni niatnya berteman ga pakai perasaan. Ya nasib). Jarang geer. Nggak bakat bikin geer orang pula. Ada beberapa yang sempat dekat setelah putus, tapi ya sebatas basa-basi doank. Nggak pernah ada yang sreg banget dan saya juga belum benar-benar "tawakkal cari jodoh".

Lagipula, saya udah skeptis banget dengan yang namanya cinta.

Pada akhir tahun 2015 saya disuruh sepupu saya untuk bikin account Tinder. Tapi saya nggak bikin-bikin karena Tinder terkesan sebagai aplikasi mesum (padahal app Tinder nih paling mending dibanding app lain semacam Beetalk, Wechat, Targeted, dkk).... sampai setahun kemudian. Akhir 2016 saya bikin akun Tinder. Mulanya bikin akun palsu main-main. Sebatas iseng-iseng doank karena niatnya ngerjain cowok-cowok nggak beres. 

Tapi kemudian saya mikir juga.... saya pengen ada secercah romantisme dalam hidup saya yang hambar, dan kok ya cowok-cowok di Tinder lumayan untuk diceng-ceng-in. Hei, kenapa saya nggak bikin account pribadi Tinder? Jadilah akhir 2016 saya bikin akun Tinder. Sekalinya bikin, saya bikin seserius mungkin (pokoknya pencitraan saya maut lah!). 

AKHIR 2016. AWAL JANUARI 2017. NO LUCK ON TINDER.

Ternyata.... saya susah banget dapet yang match di Surabaya. Sekalinya dapet, palingan anak-anak lulusan kampus yang sama, lebih buruk lagi ketemunya teman-teman yang juga sama-sama jones (kan malu!). Ada beberapa kenalan baru yang ngajak chat, namun nggak pernah ada yang sampai serius. Entah feel-nya nggak dapet. Entah karena sama-sama nggak serius. Entah sananya yang ga ngebet. Saya nggak inget-inget banget, tapi kayaknya cuma 1 orang yang saya kasih nomor pribadi. Itupun karena kebetulan kita punya bisnis yang sama jadi bisa tukeran informasi.

Pertengahan Januari saya ke Jakarta - Bandung, ada nikahan saudara. Peruntungan saya di 2 kota ini jauh lebih menyenangkan. Matchnya dapet lebih banyak daripada di Surabaya. Tapi ya... nggak ada yang sampe serius juga. Palingan basa-basi "Halo", "Anak mana?", "Kerja dimana?", "Oh suka film apa?"... lalu hening. Saya sudah mulai ngrasa bosen dan hopeless mainan beginian.

Lalu saya pulang naik kereta dari Bandung. Kereta pagi. Membosankan sekali ternyata di dalam kereta. Saya nyesel kenapa juga sebelumnya semangat naik kereta (saya pikir nggak semembosankan ini karena bakal liat pemandangan cantik di area Jawa Barat... tapi ternyata selepas Jogja pemandangannya udah membosankan. Eh tapi benernya saya juga tipe orang yang lebih suka naik kereta sih daripada pesawat). Berhubung Tinder main based on radius, dan saya kurang kerjaan pula di kereta, setiap memasuki kota-kota tertentu saya iseng-iseng nyalain Tinder sambil mencoba peruntungan. 

AND THEN I SAW HIM...

Saya punya spesifikasi tertentu saat men-swipe kanan cowok di Tinder: nulis deskripsi di bionya harus niat! Kadang ada juga sih yang nggak begitu (biasanya karena saya desperate nggak dapet-dapet match jadi mulai swipe kanan random yang fotonya agak berprospek), tapi ya ini agak jarang. 

Pas kereta sampai di Jogja, saya buka app Tinder saya. Saya ingat profil mas S ini (sebut dia S) ada di profil kedua yang saya lihat. Fotonya hitam putih, tersenyum kecil, sambil pake hoodie hitam. Captionnya cuma bertuliskan "nerd". Caption nggak niat semacam ini biasanya langsung saya swipe kiri. Tapi melihat fotonya sekilas yang hitam putih lumayan artistik dan lihat senyum mas S yang "agak cute" ini, reflek saya swipe kanan. Eh langsung match. Artinya sebelumnya dia sudah detected akun saya yang kebaca Tinder selama perjalanan kereta dan swipe kanan duluan. 

And then that's the best right swipe I've done...

LALU KITA MULAI INTENS KOMUNIKASI...




Jujur ya, saya yang nulis ini sama saya enam bulan lalu adalah pribadi yang berbeda. Situ ajak omong saya enam bulan lalu soal cinta-cintaan, paling saya cuma melengos pesimis. Saya ingat 6 bulan lalu ketemu tante saya yang bilang begini, "Tante doakan mbak Niken cepet ketemu jodohnya ya! Jodoh yang lebih baik. Cewek baik-baik pasti insya Allah dapetnya lelaki yang baik,". Saya cuma tersenyum palsu basa-basi sambil berkata diplomatis, "Doanya aja ya tante!". Padahal dalam hati saya pesimis (atau realistis?).

Pokoknya situasi hati saya kala itu persis seperti wanita yang jadi inspirasi lagu dangdut Meggy Z yang judulnya Tidak Semua Laki-laki. Alias ga percaya cinta abadi. Ga percaya jodoh. Pernikahan adalah transaksional. Lelaki itu predator. Perempuan itu tukang porot.

Saya sendiri nggak menyangka bahwa kedekatan saya sama mas S bisa terasa semudah itu. It's just really that easy.... 

Entah malamnya atau keesokan harinya, kemudian mas S mulai menyapa melalui apps Tinder. Biasalah, model basa-basi "Anak mana?" dan sedikit rayuan manis "Nice to match you. Hehe,". Percakapannya cuma beberapa baris sampai mas S minta LineID.

Saya ini tipikal yang jarang ngasih nomer pribadi. Total saya ngasih nomer pribadi cuma ke 4 orang selama main Tinder. Biasanya saya ngasih nomer pribadi setelah chattingannya rada nyambung, atau ada prospek kerjasama bisnis. Haha. Saya juga suka ilfil kalau ada cowok yang ger-cep belum apa-apa langsung minta nomor pribadi. Kesannya kayak napsu banget. Tapi entahlah, mungkin saya masih pusing habis seharian di kereta, saya ga pakai pikir panjang untuk langsung ngasih Line ke mas S. Semurahan itu saya.

Lalu kami berdua mulai chatting secara intens. Tiap hari. Pagi. Siang. Sore. Malem.

Singkat cerita, saya yang dingin dan pesimis, tiba-tiba dibuat baper sama mas S dalam waktu 1 minggu doank. Ya Allah. Segampang itu. Saya yang uda lama banget ga menjamah diary, tiba-tiba nulis diary lagi... ala ABG yang lagi fase norak-noraknya.

Mungkin kesannya creepy banget ya, baru kenal lewat Tinder seminggu doank chatting dan belom pernah ketemu tapi udah langsung baper. Tapi entahlah, semuanya kayak mudah banget. Rupanya kita punya kerjaan yang hampir mirip. Kita lumayan nyambung ngobrol soal film dan musik. Guyonan kita garing tapi kok ya bisa ketawa. Pokoknya chemistry-nya emang beneran ada. Kayak langsung click gitu aja. Halah.

(Di sinilah saya yakin bahwa opposite attracts is not true. Kesamaan lebih bisa memikat hati).

Awalnya saya sempat skeptis sih sama mas S. Jujur, saya emang agak sombong dan jual mahal (padahal ga layak juga jual mahal), dan kesan yang saya dapat dari mas S ini doi sederhana banget. Doi juga ga berusaha kelihatan keren dengan bahasa sok asyik ala cowok-cowok gaul (Duh yang maaf ya kalo sayang baca ini haha). Doi dari Boyolali, dan bahasa ala Jawa Tengahnya tetap dibawa di chattingnya. Semacam menggunakan akhiran-akhiran 'og', 'e', 'no', dll. Saya yang asli Surabaya nggak terbiasa dan pengen ketawa dengan bahasa medok model begitu. (Saya ini ngomongin doi medok padahal saya sebagai orang Surabaya medoknya juga sama parahnya. Eits, tapi medok adalah identitas dan jati diri!).

Dalam obrolan saya berusaha ngelihat sejauh mana wawasan doi dan kecocokan kita. Semacam ngetes dikit. Ngetesnya ga susah kok, saya nggak bakal nanyain soal politik atau ekonomi soalnya saya juga nggak mudheng. Ngetesnya semacam begini:

N (saya) : "Dulu aku suka Coldplay, tapi lama-lama nggak suka," 
S (doi) : "Iya. Coldplay kerasa jadi kurang british dan mulai masukin EDM-EDM nggak jelas..."

Sip. He passed the test. Coldplay emang jadi sucks banget setelah album ketiga. Ini pertanyaan standar untuk ngetes sejauh mana "kesamaan visi" kita soal musik. Haha.

N : "Oh, suka film juga. Film apa mas?"
(Saya skeptis dulu di depan. Kadang orang ngaku suka nonton film tapi bilang film Michael Bay keren. Saya ilfil sama yang model begini...)
S : "Lord of The Rings.." (ya boleh lah...) "Film-film Wes Anderson juga suka. Aku punya kaos Wes Anderson..."

Lolos lagi. Haha. Biarpun ga maniak film, tapi kalo sampe kenal nama Wes Anderson berarti at least selera filmnya boljug.

Lalu obrolan berikutnya...

S : "Iya, aku sama temen ngerintis semacam label independen buat musisi underground di Solo. Kemaren juga sempet ngadain festival metal independen gitu sama temen-temen. Emang tujuannya bukan uang sih, lebih ke komunitas..."

Done. SOLD TO ME. Ini adalah momen puncak dimana saya sadar bahwa saya selalu tertarik sama cowok-cowok idealis. Padahal saya nggak paham metal sama sekali dan saya rasa musik metal mah ga enak didengerin. Haha.

Setelah itu saya langsung kepo abis sosmed mas S. Sebelum baper harus dicek dulu nih lakik bohong atau enggak. Untungnya saya nggak nemu sesuatu yang mencurigakan.

Si mas S ini melakukan pendekatan yang..... biasa-biasa aja. Haha. Semacam nanya "Lagi apa?" atau "Sudah makan belum?". Please, ini pendekatan kan lawas banget ya.... tapi entah bagaimana pdkt sederhana murahan semacam ini ternyata adalah yang saya butuhkan! 

(Ada tuh 1 orang yang saya temui juga di Tinder dan kita ngobrol banyak hal-hal random semacam pilkada Jakarta hingga buku yang lagi kita baca. Tapi kesannya jadi serius banget.... dan emang lama-lama jadi garing dan kayaknya kita berdua sama-sama akhirnya males-malesan buat kontak-kontakan).

WHY IS THAT SO EASY TO ME?




Sebagai perempuan yang overthinking dan overanalyze sama diri sendiri, saya juga bertanya-tanya kenapa semuanya terasa mudah. Mudah banget lho saya jatuhnya. Saya pernah nulis bahwa kita punya semacam tombol-tombol di otak tentang tipe cowok idaman, dan mas S ini kayak bisa mencet tombol-tombol di otak saya sehingga saya bisa jatuh dengan.... gampang banget!

Padahal setelah putus saya sempat dekat dengan beberapa orang. Sebenarnya ya nggak dekat-dekat banget, tapi dikatakan "sekedar penjajakan berteman" juga kok rasanya terlalu naif. Tapi saya nggak pernah sampai jatuh baper norak begini. With S, everything is just that easy...

Alasan utamanya sebenarnya sih karena secara penampakan, he's just my type. Jawa. Sawo matang (cenderung item malah). Gitaris. Desainer grafis. Idealis.

Lalu kenapa makin mudah, karena saya menemukan beberapa kualitas yang saya suka.

Doi sederhana, nggak neko-neko, tipikal nice guy cenderung nerd dan alim. Gaya doank bad boy tapi ga yang bad boy macam suka ssi (speak-speak iblis) ke cewek-cewek. Lantas kenapa kita bisa nyambung karena entah bagaimana kita berdua bisa sama-sama terbuka dalam komunikasi. Satu minggu kenalan dan saya sudah curhat-curhatan masalah mantan (demikian juga dengan dia). Saya merasa menemukan teman ngobrol yang menyenangkan. Mas S juga bukan tipe yang jaim untuk nyapa-nyapa duluan. Hari-hari saya yang hampa mendadak jadi indah berkat sedikit sapaan sederhana "Selamat pagi," dengan gambar sticker gratisan dari Line (thankyou Line!).

Kamu mungkin sering mendengar cerita-cerita romantis basi semacam, "Padahal kita baru kenal sebentar tapi entah bagaimana kita seperti sudah kenal lama..."

Dan itulah yang kami alami. Padahal kami dari 2 stranger yang tinggal berjauhan dan ga ada circle pertemanan yang sama. Tapi chemistry-nya bisa terjalin dengan mudah. Kalau saya suka bilang: "Ritmenya pas". Ibarat saya nari secara ngawur, dia juga nari secara ngawur, dan entah bagaimana tarian kami berdua menghasilkan gerakan yang harmonis.

S suka mengibaratkan dirinya Tom dari (500) Days of Summer (2009) yang naif dan saya nggak tahu diri menganggap diri saya Summer yang sarkastik dan ga percaya cinta. Well, Tom is just my type (boy-next-door type dengan selera musik hipster), dan dalam versi kisah kami ini Summer dan Tom KW jatuh cinta. Saya jadi versi Summer KW yang jatuh cinta dan menemukan bahwa "Jodoh mungkin beneran ada" pada Tom KW. Saya pesimis dan mas S optimis, dan entah bagaimana optimisme dia bisa bikin saya mulai sedikit percaya tentang romantisme takdir.

So.... gimana cerita lanjutannya?

Berhubung tulisan saya ini panjang banget (dan entah siapa juga yang mau baca), saya akan lanjutkan kisah cinta mengharu biru sok romantis ini pada tulisan berikutnya...


Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer